A Koala in Pilgrimage

  • Home
  • Kayla who?
  • Why Koala? What Pilgrim?
  • Pages
    • Flavors.me
    • About.me
    • Medium
Bowo Alpenliebe habis dikecam massa. Publik menjadikannya bahan olokan, bahkan sasaran kemarahan, pelampiasan atas penatnya rutinitas. Apa salahnya? Sebagian bilang personanya di sosial media, terutama dalam aplikasi Tik Tok, tidak sesuai kenyataan: kulitnya gelap sawo matang, tidak seperti yang terlihat di layar gawai (meski bagi saya, wajah Bowo tetap masuk standar laki-laki manis). Maka Bowo adalah penipu. Di lain sisi ada pula yang bilang Bowo adalah pembawa malapetaka bagi generasi muda. Personanya di internet dicintai gadis-gadis belia se-Nusantara. Berbagai postingan di sosial media menunjukkan bagaimana gadis-gadis ini begitu mencintainya; memuja parasnya, sebagian bahkan bilang rela menjual organ tubuhnya demi bertemu Bowo. (Duh, jual organ. Padahal taruhan berapa, mereka disentil pun akan nangis. Tapi itu urusan lain.) 

Fenomena ini menyulut amarah publik (saya tidak menyukai sebutan warganet/netizen—aneh). Semua orang tiba-tiba berubah jadi praktisi pemerhati generasi millennial dadakan. Katanya, keberadaan Bowo ini merusak generasi bangsa. Usahanya untuk memanjat strata sosial dalam popularitas internet adalah hal yang salah, apalagi tindakannya yang menjerat hati para perempuan belia, dianggap sebagai indikator kemerosotan moral. Publik semakin kebakaran jenggot ketika ada kabar bahwa Bowo mengadakan pertemuan berbayar untuk dirinya. Aduh, Bowo! Kamu pikir kamu siapa?

Maka Bowo dikecam, dihina habis-habisan. Kotak masuknya di media sosial dipenuhi sumpah serapah. Dari mana saya tahu? Bagaimana tidak: mereka screenshot kata-kata kasar yang mereka kirim ke Bowo, dipamerkan di instastory, bak sebuah prestasi. Barangkali mengharap balasan apresiasi, meminta followers menganggapnya lucu. Ia disiksa secara virtual. Publik membencinya. Ia terdakwa bersalah atas penipuan mengenai ketampanannya dan penghancuran generasi muda. Divonis siksaan verbal tanpa ada yang tahu kapan berakhirnya. Publik lah hakimnya. Melalui layar gawai, kita menyaksikan sidang dan eksekusinya, setiap hari, setiap saat.

Jika Anda penonton setia Black Mirror, tahulah pasti salah satu episode terbaiknya: White Bear, episode 2 season 2. Salah satu episode paling menusuk dari Black Mirror, setidaknya bagi saya. Di akhir film, kita kemudian paham bahwa Victoria Skillane mengalami penyiksaan yang sama setiap hari, dibius paksa dan dicuci otak setiap malam, memulai hari yang sama setiap hari dengan pengejaran, penculikan, dan penembakan, tanpa mengetahui siapa dan dimana dirinya. Maka publik menikmati ketidaktahuan dan ketakutannya, serta ekspresi terkejut dan putus asa kala di akhir perjalanan moncong pistol yang terarah ke kepalanya menghembus bunyi terompet, tirai terbuka dari sisi ruangan, dan publik sontak bersorak sorai mengapresiasi pertunjukan ini; kemudian ia dihadapkan pada penjelasan siapa dirinya dan kejahatan apa yang telah ia perbuat. Ini adegan penyiksaan yang dipertontonkan setiap hari. Bahkan penonton kemudian diberi petunjuk bahwa dalam cerita ini, simulasi itu terbuka untuk publik, di sebuah tempat bernama “White Bear Justice Park”. Bahwa simulasi tersebut adalah sistem peradilan yang berlaku. Pengunjung membawa anak-anak mereka. Orang tua mana pula yang mau mengajak anak mereka menonton adegan penyiksaan dan hukuman amoral?  Mungkin hanya jika mereka psikopat, kecuali satu hal: sebab moralitas menjadi irrelevan dan hukuman macam itu menjadi normalitas—terutama apabila itu yang dituntut publik. Pembunuhan yang dilakukan Skillane adalah kesalahan besar, ia dianggap monster dan karenanya halal disiksa, dengan siksaan yang sesuai dengan kemauan publik. 

Bagi saya, fenomena penghakiman kolektif publik terhadap Bowo Alpenliebe adalah realisasi White Bear di dunia nyata. Peduli setan berapa umurnya. Persetan dengan perasaannya dan keluarganya. Bowo bersalah dan ia berhak dihukum. “Lagipula, sepatah dua patah cacian tidak sebanding dengan hancurnya generasi akibat perbuatannya,” gumam ribuan orang sebelum mengirim pesan kebencian pada Bowo. Barangkali yang sepatah dua patah itu kalau dikumpulkan bisa jadi buku. Mungkin narasinya bakal berubah lagi jika ia bunuh diri. Nanti para praktisi pemerhati generasi millennial ini akan berganti profesi jadi advokat kesehatan mental. Entahlah. 

Rasanya perlu kita menilik aspek psikologis dari kecenderungan manusia: barangkali, sama halnya dengan menghina seseorang “jelek!” membuat kita merasa lebih tampan, kala individu menghukum seorang ‘pelaku kejahatan’ dan melihat ada banyak individu-individu lain yang setuju untuk menghukumnya pula, individu tersebut merasa benar, merasa menjadi orang baik, atau setidaknya lebih baik dari si pelaku. Kejahatan pantas dibenci. Lawan dari kejahatan adalah kebaikan—maka terkutuklah kejahatan, dan terberkatilah orang-orang yang mengutuknya. Ah, mana paham saya. Tidak belajar psikologi. Barangkali yang paham bisa membantu menjelaskan.

Fenomena Bowo membuktikan dengan lincahnya informasi dan komunikasi yang beredar tiap sepersekian detik melalui internet membuat individu kian terhubung dengan individu-individu lainnya dalam ruang yang kita sebut media sosial. Karenanya, opini publik menjadi penting. Sebab akan mudah disuarakan dan diresonansikan. Atensi menentukan jati diri seseorang—bisa kekuatan, bisa musibah. Bagi Bowo, ini adalah musibah.

Baru-baru ini saya ngulik lagi blog saya. Kalau kata orang-orang yang dulu nge-blog lalu tidak nge-blog lagi lalu nge-blog lagi, mereka akan bilang "blog ini udah usang banget!". Klasik, ya?

Saya paling banyak menulis di tahun 2013, waktu SMP. Dulu ceritanya kaget sastra. Banyak baca novel. Jadi ingin bisa nulis juga. Bisa lihat ke tulisan saya dulu. Haha! Banyak sekali kata-kata puitis. Pakai diksi yang susah-susah. Supaya keren. Saya bangga sekali dulu. Banyak dipuji. Dibilang calon sastrawan. Calon penulis besar. Makin tersipu. Lalu teman-teman ikut bikin blog. Lalu semua jadi suka menulis. Meski lagi-lagi, jadi usang. Ratusan pranala terpakai sia-sia. Sebab kini cuma jadi sampah internet. Tapi, tak apa! Apa yang ada di dunia maya ini tidak bisa diambil lagi. Biarlah semua jadi kenangan. Jadi bagian dari sejarah hidup masing-masing.

Tapi kalau saya sadari lagi, sebenarnya itu proses tumbuh. Semua akan selalu begitu. Kita akan berbangga pada proses kita, lalu melangkah jauh, lalu menoleh ke belakang. Ketika menoleh kita mungkin akan tertawa, sebagian akan terharu, sebagian akan menyesal, sebagian akan kesal. Semua punya reaksinya masing-masing. Tapi apa yang telah terjadi tidak bisa diputar lagi, tidak bisa dihapus, tidak bisa diubah. Akan terus ada di sana. Saya menyenangi membaca tulisan lama saya. Mengingatkan saya bahwa empat tahun telah berlalu. Kayla kecil sama sekali tidak tahu ia akan ada di mana. Tidak tahu bahwa jalan hidupnya amat menantang. Tapi dulu ia begitu optimis. Ia percaya. Ia menulis banyak hal, tidak peduli orang-orang yang lebih tua mungkin menertawakan tulisannya. Anggap waktu ini cuma ilusi, berarti saya juga menertawakan saya sendiri, di saat Kayla kecil begitu percaya diri. Lalu saya berpikir, segala kepercayaan itu telah membantu saya tumbuh.

Sama halnya seperti jam yang akan terus berputar, hidup juga begitu. Akan terus berjalan. Tidak bisa mundur. Kecuali baterainya habis. Kecuali nyawanya habis.Tapi kadang, di sela-sela kehidupan kita yang sibuk,berhentilah sebentar. Kadang kita perlu menarik napas. Kadang kita perlu diam sejenak, menoleh ke belakang. Jangan-jangan ada yang terlewat. Jangan-jangan ada yang terlupa. Atau sekedar mengingat seberapa jauh jalan yang sudah kita tempuh.

Di Kaliurang, lampu merah bisa sampai dua menit. Bisa untuk tarik napas sejenak dari hiruk-pikuk jalanan. Mungkin minta maaf sama ibu-ibu pengendara motor yang barusan kita maki. Atau sekedar matikan mesin sebentar. Barangkali cek bensin tinggal berapa, pikirkan di mana pom bensin terdekat, sebelum lampu hijau menyala lagi.

Jangan lupa berhenti sebentar. Ingat, lampu merah bukan untuk diterobos. Bisa bahaya. Berhentilah, sebentar saja.
Sedikit ringkasan: waktu berlalu amat cepat, dan kini saya telah berada di tempat lain. Bukan tempat lain secara fisik, tapi kini saya berada di arena lain. Duh, lagi-lagi bukan arena secara fisik! Tapi saya kini berada di keadaan yang sepenuhnya berbeda. Mari diringkas dengan cepat.


Pada 10 April saya ujian nasional. Tidak penting.


15 April, malam prom. Cukup penting. Cukup menyenangkan. Malam itu ada satu momen langka: saya suka melihat saya. Saya suka semua orang malam itu. Saya menyiapkan prom bersama Aya. Menyenangkan. 


24 April, saya terbang ke Jogja. Saya cuma belajar. Tidak punya banyak teman. Bahkan tidak ada. Tidak punya waktu. Tapi Denny berkenalan dengan saya. Bilang, selera musik saya bagus. Sama dengan dia (jadi sebenarnya dia memuji diri sendiri!). Lalu kita kenalan.


9 Mei, ulang tahun saya. Saya diberi versi asli karya Denny yang selalu saya puji. Katanya, hadiah. Terima kasih Denny! Kini ada di dinding kamar. Bakal terus ada.


16 Mei, SBMPTN. Ya, mencekam. Mengerikan. Pulang-pulang cuma bisa lemas. Mau gimana lagi? Matematika cuma jawab 3.


21 Mei, Ujian tulis UGM. Ya, mencekam. Mengerikan. Pulang-pulang cuma bisa lemas. Mau gimana lagi? Matematika cuma jawab 6. 


Lalu saya lupa semua tanggal, yang jelas saya terbang ke Jakarta untuk tes STAN, lalu tinggal di Bogor, lama sekali, sampai lebaran. Bertemu sahabat dan teman-teman lama. Tidak tahu masih sahabat atau bukan. Buat saya sih masih. Mungkin tidak lagi buat mereka. Tapi peduli setan. Bertemu mantan pacar juga, haha! Eh, dia bilang dia suka lagi sama saya. Ya, biasa saja. Wong saya tidak suka. Dulu padahal dia yang bilang putus--kata orang hidup itu roda. Tapi salah satu sahabat tidak setuju. Lha, tidak ada yang perlu disetujui atau ditidaksetujui. Kayak mau kawin saja. Biasa saja. 


Lalu tiba-tiba kangen Jogja.


Lalu, rentetan pengumuman. Hari pertama, diterima di Padjadjaran. Saya kira bakal kuliah di Jatinangor. Ah, setelah berpikir: tidak mau! Nanti jelek sendiri. Malu. Hari ketiga, diterima di STAN. Hari keempat, situs UGM ngadat. Biasa saja. Saya pikir tidak akan diterima. Jadi diam saja. Berusaha berkali-kali buka, tidak bisa juga. Ya, sudah. Jadi saya tidur. Baru buka hari kelima. Hore! Diterima juga!


Saya terbang ke Jogja. Ya, pilih UGM. Diomeli beberapa orang karena tidak pilih STAN. Dihujat beberapa orang, katanya saya merebut rezeki orang. Biasa saja. Tidak minta mereka bayar uang pendaftaran. Jadi saya cuma he-he, he-he. Semua jadi mudah kalau ditertawakan. Walau ditertawakan itu tidak enak. Aduh, ngablu. Balik lagi; saya terbang ke Jogja.


Satu bulan lebih di Jogja. Mumpung belum masuk, main-main terus. Banyak nongkrong. Banyak teman-teman baik. 


Dan di sinilah saya.


Terus apa?


Ya, tidak ada. Nanti lagi, ya, kita cerita-cerita. Ini saya tulis malam-malam, ngantuk. Yang jelas, sekarang saya sudah kuliah. Kuliah! Jadi anak Jogja. Jadi anak UGM. Jadi anak FISIPOL. Jadi anak HI. Asyik!



Sleman, 2 September 2017.
Two days ago I had a chance to be volunteering in an event where I had to tell fairy-tales to children in an elementary school. The objective was to educate children nine values to be highly upheld, and my group got three values to be focused on: bravery (keberanian), awareness (kepedulian) and responsibility (tanggung jawab). Through fairy-tales, the community hopes that the learning will be a lot more fun and enjoyable but educating at the same time.

 Telling these children in 4th grader turned out to be an uneasy action. Delivering a fairy-tale to subtly telling them that one must be brave, aware and responsible at the same time needed a big understanding, and I myself needed to be aware toward their responds. If they are playing with their pens, or drawing robots on their notebooks, or making bubbles out of their saliva, that means I failed.

At the last session we had a sharing session where we can talk and discuss many things freely and they have chances to share their stories and ideas. It was fun, yet challenging at the same time. They shared their fears and we discussed how to overcome it. We advised them to be always aware of their surroundings, especially to their friends and try to be always available to offer help to their friends who are in need.  We told them that when they are given tasks it means people trust them so don't try to break those trust. 

And in the middle of session, all of these hit me to the core and brought me to a realization: Have I applied these values in my life? Am I myself capable enough to uphold those values?

Am I brave enough? Have I found ways to overcome the fears overwhelming me? In fact, can I? Or do I too weak to confess what kind of things scare me in this life?

Am I aware enough? Have I been aware to my surrounding and understand people's circumstances? Am I capable to help people around me who needed me? Or probably it is not about my capability, but have I been compassionate enough to offer them help without them asking for it? 
Have I paid attention to people's reactions and feelings toward my words? Have I done actions to prevent myself to hurt other people?

Am I reliable enough? Have I always been responsible for everything I have to do? Have I ever disappoint people who trust me? Do I always done everything well? 

These questions started to haunt my mind since that session. 

These children saw me as a holy sister who is very wise and kind, and saw me as their role model. In fact, I was the one who was not reliable enough that I broke their trust as someone who is not even near to be perfect to be their role model. I was the one who was not aware enough to see how much my presence could be a bright star and inspiration for them. And I was the one who was not brave enough to admit that I felt so bad about this. 

It turned out, I did not teach anyone; instead, I taught my own self three things:
I have to be brave, I have to be aware, and I have to be liable. 

Am I capable? We'll see.
Ok, this is awkward.

I know in almost every post I often wrote "It's been a long time!" because yea, each post was made in a quite long interval of time. 

Since my latest post, which was made in July 26, 2015 (almost a year ago!); many things happened. I've got to face some phases of my life I have never expected to get through. I have met many people, I have made many moments, I have created some achievements, I have learnt new lessons, but most importantly: I have explored myself. Not entirely, but the process has been quite fruitful.

I am deeply grateful to God for what have happened in this very short time --a year. I can say in a very high certainty that me two years ago (10th grade) had been quite stagnant, but a year after, a bright start came ahead of me and since then many surprises started to come up and pulled me hard to the better version of myself. Everything went so fast it amazed me.

As time goes by I finally find more hints, unlocked many doors and overcome obstacles in a very adventurous yet worthwhile journey with one aim: to find myself. I foresee that this never-ending game can be so exhausting at some points, but as for now, I truly enjoy whatever it offers.

It is two hours to go to my birthday, and I am currently doing a flash-flashback to where have I been on my own life. From the bottom of my heart, I hope I can celebrate more birthdays in the future with happiness, and most importantly, contentment of everything I have achieved in that time.
Minggu, 26 Juli 2015

Yang terkasih,
            Halo, sayang. Tidak perlu susah-susah kutanyakan kabarmu, sebab tanpa kamu mengerti, aku mengetahui jauh lebih banyak. Meski kamu berkali-kali menjauhiku, membuangku, membungkamku, kamu takkan paham seberapa besar aku bisa bangkit ketika aku mau.
            Perlu kamu ketahui bahwa di detik tepat kamu membaca tulisan ini, kamu masih membuat banyak alasan untuk aku membencimu. Tindakanmu bodoh dan kamu tidak pernah belajar. Maka tulisan ini aku dedikasikan untukmu, untuk mengusir segala kebodohan yang bersarang di kepalamu.
            Adalah tepat satu tahun, hari ini, sejak kamu memupuk segala impianmu. Kamu bahkan membeli sebuah buku harian untuk kamu bisa mencurahkan pikiranmu, sarana yang kuketahui sebagai satu-satunya cara untuk kamu lebih jujur kepadaku. Maka kamu guratkan di atas lembaran-lembaran buku itu impian-impian dan komitmenmu. Kamu membacanya berulang kali, lantas matamu berbinar olehnya, lalu kamu berucap padaku dengan lantang, “akan kucapai semua ini!”
            Coba ingat sekarang, kapan terakhir kali sejak hari itu, kamu buka buku harianmu?
            Selama satu tahun tidak kulewatkan satu haripun melihat tingkah lakumu yang tanpa dedikasi, dengan arogansimu yang setinggi langit. Setiap hari pula aku menggeleng-gelengkan kepala, hampir copot kamu buat.
            Duhai, betapa congkaknya dirimu! Bahkan dengan kamu yang tidak ada sepersekiannya di antara kawananmu, masih berani kamu berlaga. Entah kamu yang terlalu menutup mata pada kenyataan, atau memang kamu yang terlalu bodoh untuk mengerti.
Tidak satu haripun kamu bercermin kepada dirimu sendiri. Aku melihatmu bergumam setiap hari bahwa kamu adalah yang paling hebat, bahwa segalanya akan berakhir seperti yang kamu mau. Maka kunanti setiap hari saat-saat kamu kelak akan menghubungiku, berbicara kepadaku, memudarkan sedikit egomu di hadapanku. Tapi kamu tidak, dan aku tetap menanti.
            Tentu kamu ingat ketika realita pada akhirnya menelanmu bulat-bulat tanpa belas kasih. Pecah tangismu sejadi-jadinya, sakit dadamu bagai ada bolong di sana. Lalu kamu menghubungiku, sekali, melakukan pengakuan dosa. Kita berbincang, dan kamu melontarkan janji-janji kepadaku, memintaku untuk mengingatkanmu setiap saat.
            Tapi bagaimana aku bisa mengingatkanmu ketika kamu terus membungkamku?
Setelah beberapa hari terlewati, kamu akhirnya menemukan cara untuk menyembuhkan lukamu dan kembali menumbuhkan semangatmu.
Tapi kebahagiaanmu yang berlimpah itu membungkamku, dan kamu lagi-lagi tidak mendengarku. Biar aku berseru, berteriak, menjerit; kebahagiaanmu yang kamu temukan ini menyumbat telingamu. Maka kamu kembali ke perangaimu yang busuk. Yang mengantarkanmu kepada bencana. Yang digelapmatakan kamu olehnya, oleh kebahagiaan dan kepuasan fana.
            Perlu kamu tahu, sayang, aku menyayangimu.
            Perlu kamu tahu, sayang, aku di sini untukmu.
            Maka dengarkan aku—yang sudah tidak tahan melihatmu menderita di akhir- ini.
            Sadarlah bahwa untuk mencapai segala keindahan, kamu perlu pengorbanan. Pengorbanan adalah usaha. Kamu tidak akan berusaha apabila persepsi di kepalamu mengatakan kamu paling hebat—terlepas dari kenyataan apakah hal tersebut benar atau tidak. Ada langit di atas langit, ingat bahwa kamu bahkan tidak pantas berdiri di atas tanah atas kemampuanmu yang bukan apa-apa.
            Aku harap setelah ini kamu menghubungiku sesering mungkin, dan kita akan lebih sering berbicara. Catat bahwa aku ingin kamu jujur padaku; walaupun tanpa kamu harus bilang, aku sudah pasti tahu.

Yang selalu mengawasimu,



Nurani.

Aku adalah yang paling dekat denganmu. Menempati ragamu, mengawasimu. Kini aku angkat bicara tanpa kamu minta, maka dengarkanlah.


Spending most of my time being unproductive by staring at ask.fm timeline finally gives its privilege.
                Some people I follow talked about this video, and triggered by my curiosity, I clicked the link:



It is clear that most girls all over the world are having quite hard time to deal with society regarding to their appearance. We’re all living in the society where there is standard to consider beauty (the existence itself cringe me, like, how dare we human to make standards of ‘appropriate’ appearance when all of us are born equally?), and there are certain consequences for not fulfilling it: get bullied, insulted, and neglected.
Since I have never paid much attention to make-ups, I didn’t see how it is able to bring such difference to someone (for this case, girls). I thought the function is only to make you a bit prettier by giving some more shades and colors to particular parts of your face –apparently it is much more than that. It totally changes your look! In higher levels of make-up, you are able to express yourself and change your look to what you want people to see.
And there should be nothing wrong about it.
Some people insult a girl with make-up saying she’s fake, too much, liar.
But when she doesn’t use any, people call her gross, disgusting, yucky, and foul, for showing her pale skin and acne.
What the fuck is wrong by trying to cover up flaws and boost our confidence for that?
Every person was born with flaws. Some are capable to deal with it, some other are not and get depressed with it. Every person has their own insecurities regarding to their body, whether it is inborn or made by something inevitable (like allergic, disease, or accident). Conquering insecurities is a big deal. Insecurities born if one isn’t confident about his/her own self. Being that said, insecurities comes from within, it is the lack of self value. With the circumstance of society nowadays, it is quite hard for some people to feel okay about themselves. Not all people are blessed enough to have physical appearance that is fit to the standard of society of the ‘beauty’ or to –at least, get rid of their flaws (take notes that curing chronic acne in beauty clinics IS NOT cheap).
Speaking of insecurities, I too, have my own story.
Perceived by my surrounding as someone who is easy-going, loud, talkative, fierce, tough (or even hostile, sometimes by certain people) indirectly constructs a supposition of my character that is not actually true: confident. People somehow assume I am pretty okay with how I look like in the eyes of society.
The thing is, I am not, and being insecure about my own self is devastating and I have yet to find way to get this feeling out of my mind.



Since I was a kid, about ten years ago when I was started to understand what are people talking about, it was (well, –has been) common in my big family to joke around and that time, I happened to be one of the objects. I was (--have been) always compared to my younger sister who was destined to born with prettier face than me. Seeing all people laugh made me forced myself to laugh with them together and so they assume ‘no one gets hurt’. In fact, I did. Did I cry? No, it was stupid to cry because what would happen was so predictable: I would be insulted MORE. What can I do to make them stop? Nothing. Even though I was smart, yes, the entire of my big family acknowledged it and of course it gave me a lot favors. Got some gifts, prices, cashes, and at least compliments –but there’s no way out of the insult I got for not being as pretty as my sister.
Even an aunt once said, “The only good thing about your face is you are fair skinned, the rest are so-so, hahaha” (“Mukamu kan cuma menang putih, sisanya biasa-biasa aja, hahaha”) And the words remain still in my head, refusing to leave.
                In front of my family, I act like I am the most confident bitch alive: Saying I feel I am pretty, I feel I am gorgeous, when in fact, it was me pretending to be strong. Up until now, no one knows how each of the words they spit to insult me was lingering in my mind and how it feels like knifes to my heart.
                There wasn’t actually something really wrong with my face, only my nose is not sharp. I was skinny, fair skinned, my skin was smooth, no acne or pores, I have black shining hair, but my face can’t be considered as beautiful –it’s just ordinary. Super ordinary. Not the kind of girl whose presence will stun everybody around.
                As the idea of “I am not beautiful” and all the insecurities overwhelmed my mind, I started to refuse when someone compliment me, saying I’m beautiful. My heart was like, dude, you kid me? I know how ugly I look like, and you, stupid liar, should stop making up thing that doesn’t exist.
                However, thanks to my family that those experience taught me to not being too sensitive (people nowadays are easily offended, aren't they?). After all, I gradually getting used to their jokes and as the time goes, I learnt to close my ears and just laugh. Sure it wasn’t an easy endeavor.

[My family is the best, nevertheless. Beside joking about physical appearance, the rest are wicked and having a quality time with them without getting your stomach hurt for too much laugh is impossible. It just, the joke they made for me were started too early, when I was too much younger. I guess.]

             Once I got to the fourth grade of elementary school, my circle changed and I was close to famous girls in the school. I was one of them, though, I shined because of my achievements and how I could easily socialize with kids, not my face. I was overshadowed, and no boys really looked at me (some did though, Alhamdulillah).
              I didn’t like to be photographed as much as the girls, because I was afraid I would be ashamed when my face in the picture turned out to be ugly. (Except selfies because I know how my face would be in the picture, but back then, phone with front camera was quite expensive and I couldn’t afford it)
           And then I got to junior high school where everything got worse (nah, not really): ALL THE GIRLS WERE GODDESSES. Damn, I won’t get highlight here, I thought, and it turned out to be true. (However, I did experience some lovey-dovey story during junior high school; again, Alhamdulillah my face is a little bit qualified to be loved). On my last year in 8th grade, after a long vacation to Jogjakarta, the worst nightmare ever exist hit me: I was getting fat. A LOT. A LOT…
My legs are big, I have wide calves and ankles. To make it worse, I am short. Great.
And oh, of course by that I was insulted by my family because my younger sister was tall as her height was the same as mine.
Despite the fact that I am getting a bit skinnier during my first year of high school, I still dislike my body. I missed my skinny body. Again, to make it worse, two huge dark eye-bags hanging under my eyes and it seem awful (but I’m currently learning to love it because in some cases it looks sexy!) (nah, no. It was just me trying to love myself.)
Throwing back at my photos when I was younger, I wasn’t actually that ugly. I hate myself for not believing how pretty I was back then! Seriously, me when I was younger is quite beautiful, and if allowed, I really want that face my entire life. Who cares if I wasn’t as beautiful as the other girls? If I realized back then how I should be grateful on the appearance God has gifted, I would be pretty confident.

Up until now, the insecurities remain still in my mind in different form. My current body is the most thing I’m not satisfied: wrinkles, dark spots, acne, cellulite, pores, hair loss, and fat. See? My body is a whole pack of flaws. Not everyone knows I actually put much attention to these (they think I am the kind of girl who’s not giving sufficient attention to appearance and how people see myself)
         People will judge anyway and that’s life. I learnt that insecurities come from within, and I learnt that it could be a big deal to make fun of one’s flaw. I admit that I am such a huge douchebag: I like to tease who’s close to me regarding to their flaws. But realizing that even closest people can hurt you like I experienced, I aware that start from now, I need to control myself to don’t make fun of someone.
You, too.
Yes people are all free to speak out our opinions loud, including those who offend girls with make-up by saying they are fake and too much. Not to say the chance of us, girls, to be insulted by our natural face is also as big as when we wear make-up. They’ll say our bare face is ugly, gross, pale, zombie like, yadda yadda yadda. Even though make-up is not only the issue, but it is the easiest to draw the simpler circumstance on how we live in society where everything we have done will be judged.

It is entirely not one’s fault to not being flawless.

Please acknowledge that human comes with flaws sticking on them. Please ponder that none of human ever exist can choose the way they were born. Please aware that you can hurt people with the blunt comments you give.  Please understand that deep inside, everyone desire to be liked.




image credit: favim.com 
Subscribe to: Posts ( Atom )

About Me

 photo 1500559169952_1.jpg
A bookworm, a craver of warmth. A dreamer, a (little bit) chaser. Above all, a sleep lover.

Pages

  • Beranda
  • Why Koala? What Pilgrim?
  • Whose Blog Are You Looking At?
  • ▼  2018 (1)
    • ▼  July (1)
      • Bowo dan Penghakiman Publik atas Kejahatannya
  • ►  2017 (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2016 (2)
    • ►  May (2)
  • ►  2015 (7)
    • ►  July (2)
    • ►  March (1)
    • ►  January (4)
  • ►  2014 (3)
    • ►  May (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2013 (33)
    • ►  December (3)
    • ►  November (3)
    • ►  October (1)
    • ►  September (6)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (12)
    • ►  May (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2012 (13)
    • ►  December (3)
    • ►  November (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (3)
  • ►  2011 (3)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
Powered by Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2018 (1)
    • ▼  July (1)
      • Bowo dan Penghakiman Publik atas Kejahatannya
  • ►  2017 (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2016 (2)
    • ►  May (2)
  • ►  2015 (7)
    • ►  July (2)
    • ►  March (1)
    • ►  January (4)
  • ►  2014 (3)
    • ►  May (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2013 (33)
    • ►  December (3)
    • ►  November (3)
    • ►  October (1)
    • ►  September (6)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (12)
    • ►  May (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2012 (13)
    • ►  December (3)
    • ►  November (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (3)
  • ►  2011 (3)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
Copyright 2014 A Koala in Pilgrimage.
Designed by OddThemes