Bowo
Alpenliebe habis dikecam massa. Publik menjadikannya bahan olokan, bahkan sasaran
kemarahan, pelampiasan atas penatnya rutinitas. Apa salahnya? Sebagian bilang
personanya di sosial media, terutama dalam aplikasi Tik Tok, tidak sesuai
kenyataan: kulitnya gelap sawo matang, tidak seperti yang terlihat di layar
gawai (meski bagi saya, wajah Bowo tetap masuk standar laki-laki manis). Maka
Bowo adalah penipu. Di lain sisi ada pula yang bilang Bowo adalah pembawa
malapetaka bagi generasi muda. Personanya di internet dicintai gadis-gadis belia
se-Nusantara. Berbagai postingan di sosial media menunjukkan bagaimana gadis-gadis
ini begitu mencintainya; memuja parasnya, sebagian bahkan bilang rela menjual
organ tubuhnya demi bertemu Bowo. (Duh, jual organ. Padahal taruhan berapa,
mereka disentil pun akan nangis. Tapi itu urusan lain.)
Fenomena
ini menyulut amarah publik (saya tidak menyukai sebutan warganet/netizen—aneh).
Semua orang tiba-tiba berubah jadi praktisi pemerhati generasi millennial dadakan.
Katanya, keberadaan Bowo ini merusak generasi bangsa. Usahanya untuk memanjat
strata sosial dalam popularitas internet adalah hal yang salah, apalagi
tindakannya yang menjerat hati para perempuan belia, dianggap sebagai indikator
kemerosotan moral. Publik semakin kebakaran jenggot ketika ada kabar bahwa Bowo
mengadakan pertemuan berbayar untuk dirinya. Aduh, Bowo! Kamu pikir kamu siapa?
Maka
Bowo dikecam, dihina habis-habisan. Kotak masuknya di media sosial dipenuhi
sumpah serapah. Dari mana saya tahu? Bagaimana tidak: mereka screenshot
kata-kata kasar yang mereka kirim ke Bowo, dipamerkan di instastory, bak sebuah
prestasi. Barangkali mengharap balasan apresiasi, meminta followers
menganggapnya lucu. Ia disiksa secara virtual. Publik membencinya. Ia terdakwa
bersalah atas penipuan mengenai ketampanannya dan penghancuran generasi muda.
Divonis siksaan verbal tanpa ada yang tahu kapan berakhirnya. Publik lah
hakimnya. Melalui layar gawai, kita menyaksikan sidang dan eksekusinya, setiap
hari, setiap saat.
Jika
Anda penonton setia Black Mirror, tahulah pasti salah satu episode terbaiknya:
White Bear, episode 2 season
2. Salah satu episode paling
menusuk dari Black Mirror, setidaknya bagi saya. Di akhir film, kita kemudian
paham bahwa Victoria Skillane
mengalami penyiksaan yang sama setiap hari, dibius paksa dan dicuci otak setiap
malam, memulai hari yang sama setiap hari dengan pengejaran, penculikan, dan penembakan,
tanpa mengetahui siapa dan dimana dirinya. Maka publik menikmati ketidaktahuan
dan ketakutannya, serta ekspresi terkejut dan putus asa kala di akhir
perjalanan moncong pistol yang terarah ke kepalanya menghembus bunyi terompet,
tirai terbuka dari sisi ruangan, dan publik sontak bersorak sorai mengapresiasi
pertunjukan ini; kemudian ia dihadapkan pada penjelasan siapa dirinya dan kejahatan
apa yang telah ia perbuat. Ini adegan penyiksaan yang dipertontonkan setiap
hari. Bahkan penonton kemudian diberi petunjuk bahwa dalam cerita ini, simulasi
itu terbuka untuk publik, di sebuah tempat bernama “White Bear Justice Park”.
Bahwa simulasi tersebut adalah sistem peradilan yang berlaku. Pengunjung
membawa anak-anak mereka. Orang tua mana pula yang mau mengajak anak mereka
menonton adegan penyiksaan dan hukuman amoral? Mungkin hanya jika mereka psikopat, kecuali
satu hal: sebab moralitas menjadi irrelevan dan hukuman macam itu menjadi
normalitas—terutama apabila itu yang dituntut publik. Pembunuhan yang dilakukan
Skillane adalah kesalahan besar, ia
dianggap monster dan karenanya halal disiksa, dengan siksaan yang sesuai dengan
kemauan publik.
Bagi
saya, fenomena penghakiman kolektif publik terhadap Bowo Alpenliebe adalah realisasi White Bear di dunia nyata. Peduli
setan berapa umurnya. Persetan dengan perasaannya dan keluarganya. Bowo
bersalah dan ia berhak dihukum. “Lagipula, sepatah dua patah cacian tidak
sebanding dengan hancurnya generasi akibat perbuatannya,” gumam ribuan orang sebelum
mengirim pesan kebencian pada Bowo. Barangkali yang sepatah dua patah itu kalau
dikumpulkan bisa jadi buku. Mungkin narasinya bakal berubah lagi jika ia bunuh
diri. Nanti para praktisi pemerhati generasi millennial ini akan berganti
profesi jadi advokat kesehatan mental. Entahlah.
Rasanya
perlu kita menilik aspek psikologis dari kecenderungan manusia: barangkali, sama halnya dengan menghina seseorang “jelek!” membuat
kita merasa lebih tampan, kala individu menghukum seorang ‘pelaku
kejahatan’ dan melihat ada banyak individu-individu lain yang setuju untuk
menghukumnya pula, individu tersebut merasa benar, merasa menjadi orang baik,
atau setidaknya lebih baik dari si
pelaku. Kejahatan pantas dibenci. Lawan dari kejahatan adalah
kebaikan—maka terkutuklah kejahatan, dan terberkatilah
orang-orang yang mengutuknya. Ah, mana paham saya. Tidak belajar psikologi.
Barangkali yang paham bisa membantu menjelaskan.
Fenomena
Bowo membuktikan dengan lincahnya informasi dan komunikasi yang beredar tiap
sepersekian detik melalui internet membuat individu kian terhubung dengan
individu-individu lainnya dalam ruang yang kita sebut media sosial. Karenanya,
opini publik menjadi penting. Sebab akan mudah disuarakan dan diresonansikan.
Atensi menentukan jati diri seseorang—bisa kekuatan, bisa musibah. Bagi Bowo, ini adalah musibah.