Sejak saya kecil, ada satu gagasan yang
terus menerus terngiang dalam kepala saya, bersemayam di sana selama
bertahun-tahun.
Awalnya saya merasa berdosa membiarkan otak
liar ini menciptakan gagasan macam itu. Tenggelam dalam perasaan bersalah, saya
diam, membiarkannya bersemayam disana, terkunci rapat dalam jeruji.
Tapi ia tetap berbicara. Tapi ia tak henti
bersuara. Bisikkannya maut. Pelan, menggerogoti.
Saya penjarakan dia, tapi lupa saya kunci mulutnya.
Saya menolak mendengarkan. Saya mengelak.
Saya menghindar.
Saya berpura-pura menolak mendengarkan. Saya berpura-pura
mengelak. Saya berpura-pura menghindar.
Bertahun-tahun saya membiarkan ia terus membisikkan
gagasan itu pada saya, bertahun-tahun pula saya berbohong. Entah kepada siapa.
Entah kepada orang-orang. Entah kepadanya. Entah kepada saya sendiri.
Tapi tidak kali ini.
Aku bukan melepaskannya. Aku bukan
membebaskannya.
Tapi kini kita bersatu.
Ia adalah bagian dari diri saya, tanpa
segan saya ucapkan. Tanpa segan saya nyatakan. Tidak ada lagi pura-pura.
Yang ia bisikkan selama ini adalah:
Kamu tidak perlu mensyukuri hidup.
“Bersyukurlah karena kamu hidup, karena kamu ada di dunia ini.”
Persetan!
Apa kamu ingat pernah minta ke Tuhan untuk ada disini?
Apa kamu ingat pernah minta ke Mama untuk menampungmu dalam tempat gelap itu, yang sembilan bulan kamu bersemayam di dalamnya?
Lalu apa yang harus kamu syukuri?
Saya pegang teguh kata-katanya, kini.
Saya biarkan gagasan itu melebur, menyatu
dalam diri saya.
Saya buat ia hidup dalam saya.
Saya tidak bersyukur atas hidup yang
telah diberi pada saya. Saya tidak bersyukur atas nyawa yang ditiupkan pada
tubuh saya.
Yang saya syukuri, adalah apa yang ada di dalam hidup itu sendiri.
Yang saya syukuri, adalah kemampuan saya
menjalani semua yang terjadi.
Yang saya syukuri, adalah saya masih
dipercaya oleh-Nya untuk terus berjalan di umur ini, setidaknya sampai saat
ini.
Kujawab pertanyaannya.
Saya tidak mensyukuri hidup.Saya mensyukuri kehidupan.