Saat tulisan ini dibuat, Mama sedang
terkulai lemas di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB).
RSPB sudah berdiri sejak dulu, sejak
Mama kecil. Datuk (panggilan saya untuk kakek) dulu adalah salah seorang
karyawan di Pertamina. “Seumur-umur, bahkan dulu pas kesini bisa gratis karena
datuk orang Pertamina, baru sekarang Mama dirawat di rumah sakit selain waktu Mama
lahir; dan melahirkan kamu,” Kata Mama.
Mama kemudian bercerita kalau dulu, adik
Mama yang paling bungsu dulu sering sekali dirawat di rumah sakit ini. Entah
karena giginya patah, tulangnya retak, babak belur, dan sebagainya. Pokoknya,
paman saya ini badung sekali waktu kecil. Tante juga beberapa kali dirawat di
rumah sakit, karena ia juga sangat aktif dan sering main-main.
Kemudian terlintas di kepala saya,
hingga kemudian saya tanya Mama, beliau sewaktu kecil dulu bagaimana. Beliau
bilang, Mama yang sekarang dan yang dulu itu jauh berbeda, beda banget. “Beda kayak gimana, ma?”
Mama kemudian bercerita, dulu beliau anak yang amat
pemalu. Pintar dan cerdas. Hidup dalam keluarga berkecukupan. Butuh apa? Silahkan.
Mau makan apa? Ada. Mau kemana? Ayo. Tapi Mama yang dulu pemalu dan clueless soal hidup yang sebenarnya. “Keadaan
benar-benar merubah Mama, Mbak.”
Mama bilang Mama senang saja dengan perubahan pada
dirinya. Beliau sekarang lebih berani dan percaya diri. Maklum, keadaan ekonomi
keluarga kami yang sempat merosot memaksanya menerobos jeruji malu dalam
dirinya supaya bisa mengisi perut dan memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya. Tidak
hanya ekonomi sebenarnya, rasanya dari berbagai aspek keluarga kami berantakan,
hingga Mama dan Bapak cerai di tahun 2010 lalu. Perceraian adalah sebuah akhir
dari perjalanan dan perjuangannya selama pernikahan yang tidak begitu memberi Mama
kebahagiaan, namun perceraian itu juga awal dari perjalanan dan perjuangan
barunya sebagai single parent bagi
saya dan adik saya. Dan, kebahagiaan baru baginya.
“Cari-cari kerjaan dengan umur tua dan jelas tau ga akan diterima pernah, jualan kue
pernah, ngutang pernah –utang, yaampun Mbak, itu bagian hidup Mama dulu. Yang
begitu udah Mama lewatin. Gengsi Mama harus dilawan lah, kalo enggak kamu ya gak makan,”
“Transformasi
kehidupan lama dan baru Mama itu yang paling susah. Biasa hidup enak, kewajiban
cuma sekolah yang bener. Butuh apa-apa ada, dipenuhi, dicukupi. Sampai akhirnya
Mama masuk ke medan baru, keluarga baru, yang keadaannya jauh langit bumi.
Kagok, mbak. Kaget.” Aku ingat betul bagaimana raut wajah lelah Mama selama
bertahun-tahun. Sorot mata yang gelap, kosong, tanpa cahaya. Bagaimana ia menghabiskan
waktunya merenung. Menunggu yang tidak kunjung datang.
Melihat bagaimana semangatnya bangkit lagi empat tahun
belakangan, bagaimana sinar matanya kembali lagi, adalah keajaiban.
Saya tanya Mama bagaimana mungkin semangat yang sudah
benar-benar terpuruk itu muncul lagi.
“Karena ada kamu, adikmu, yang jadi semangat Mama.”
Mama amat menikmati hidupnya yang sekarang. Tanpa Bapak.
Dengan pekerjaan Mama sendiri. “Punya penghasilan sendiri, bebas mau Mama
apain. Ya, setelah memenuhi kewajiban Mama terhadap keluarga kita lah. Gaji Mama memang kecil, tapi itu
milik Mama, hasil keringat Mama, bukan dari siapa-siapa. Itu sudah cukup
memuaskan,”
Kemudian saya terus berbincang kepada Mama, lalu secara
inplisit menyelipkan pertanyaan yang menyiratkan: Apa Mama mau menikah lagi?
“Sendiri itu lebih enak, Mbak. Ngasih makan kamu dan adekmu masih bisa
pake telur diceplok, lah kalo Mama
punya suami nanti, yakali deh Mbak. Yeu, udahlah, kewajiban Mama yang mau Mama penuhi ya kalian aja,
gausah tambah-tambah lagi. Ribet.”
Lihat? Ia benar-benar bukan wanita melankolis yang sibuk menghabiskan waktunya untuk memikirkan
pendamping hidup. Padahal kalau beliau mau punya suami lagi, bisa saja. Beliau
terhitung awet muda dan cantik untuk umurnya yang sudah kepala empat. Ditambah
fakta bawa kami anak-anaknya sih, ora opo-opo Mama menikah lagi. Malah senang, uang jajan banyak.
“Ngapain bergantung sama orang. Apalagi buat ngasih makan perut sendiri,”
Tuturnya.
--ooOoo--
Ada seorang laki-laki yang dekat
dengan saya akhir-akhir ini. Sering datang ke rumah untuk ngapel. Setelah beberapa lama, Mama tanya pada saya. “Kamu kapan ganti cowok?” Saya
tertawa saja. Wong saya memang benar
suka sama laki-laki itu. Bagaimana dong?
Jadi saat sedang berbincang di kamar rumah sakit ini, saya tanya kepada Mama, emang kenapa toh Ma?
“Hanya laki-laki yang pantas yang bisa bikin
kamu jadi miliknya. Itu, kalau kamu menghargai diri kamu sendiri sebagai
perempuan. Makanya, selektif. Malah lebih bagus kalau kamu gak terlalu bergantung pada laki-laki”
“Jadilah perempuan yang disegani.
Yang mampu berdiri bagi dirinya sendiri. Yang baginya, keberadaan lelaki
disampingnya adalah karena ia mau, bukan karena ia butuh. Dan untuk mendukung
itu, kamu harus punya modal. Nih,” Sembari mengetukkan ujung telunjuknya ke
kepala. “Jadilah mahkota bagi dirimu sendiri,”
Ia juga pribadi yang tegas dan
berprinsip. Contohnya, seringkali saya dilarang untuk pergi bersama teman-teman
dalam waktu luang, perginya juga tidak lama dan tidak malam-malam. Kemudian
saya tanya mengapa Mama suka
larang saya, beliau jawab, “Gak semua yang kamu mau harus dituruti. Ini
aturan Mama. Kenyataannya, di hidup ini kamu gak bisa berbuat semaumu, apalagi kalau kamu berada di bawah aturan
orang lain.”
Soal prestasi, Mama galak banget. Saya
tanya Mama mengapa kok ngotot sekali sih soal belajar. “Sekarang semua ilmu dan pemikiran Mama, gunanya
cuma satu: untuk
diturunkan kepada kalian, anak-anak Mama.
Jangan jadi seperti Mama. Potensi setinggi langit tapi penghalang
juga setinggi langit. Buatlah kesempatan kalian sendiri. Buat
keadaan kalian lebih baik. Buat potensi yang tinggi, lalu buat potensi itu
bukan hanya untuk diwariskan, tapi juga berguna buat ngisi perut, buat
senang-senang,” Memang, Mama punya tingkat
intelektual yang tinggi, tapi tidak benar-benar terpakai setelah tahun kedua
pernikahannya. Bapak melarang Mama berkerja.
“Ingat
ini: Malu sama diri sendiri. Malu
sama keadaan. Malu sama dunia. Belajar yang
bener. Masa iya, udah miskin, bego
lagi,”
Agak
kasar, tapi ngena.
--ooOoo--
Mama adalah sosok utama pembentuk
karakter dalam diri saya. Darinya lah saya belajar banyak mengenai perkembangan
diri saya. Mengenai cita-cita saya. Mengenai target saya. Mengenai jati diri
saya.
Mama adalah sosok nyata wanita
independen di mata saya. Darinya lah saya belajar, bahwa saya harus menghargai
diri saya sendiri, baik sebagai manusia maupun sebagai kaum hawa. Darinya lah
saya belajar, bahwa saya bisa jauh lebih tangguh
daripada yang bisa saya bayangkan.
--ooOoo--
“Kok
tumben ya kamu minta cerita begini?” Tanya Mama. “Lagi
sakit malah disuruh cerita. Haduuu bayar
lho ya!” Aku sih, cengar-cengir saja.
Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com