Sebuah Ungkapan Dari Yang Mengawasi
Minggu, 26 Juli 2015
Yang terkasih,
Halo,
sayang. Tidak perlu susah-susah kutanyakan kabarmu, sebab tanpa kamu mengerti,
aku mengetahui jauh lebih banyak. Meski kamu berkali-kali menjauhiku,
membuangku, membungkamku, kamu takkan paham seberapa besar aku bisa bangkit
ketika aku mau.
Perlu
kamu ketahui bahwa di detik tepat kamu membaca tulisan ini, kamu masih membuat
banyak alasan untuk aku membencimu. Tindakanmu bodoh dan kamu tidak pernah belajar.
Maka tulisan ini aku dedikasikan untukmu, untuk mengusir segala kebodohan yang
bersarang di kepalamu.
Adalah
tepat satu tahun, hari ini, sejak kamu memupuk segala impianmu. Kamu bahkan
membeli sebuah buku harian untuk kamu bisa mencurahkan pikiranmu, sarana yang
kuketahui sebagai satu-satunya cara untuk kamu lebih jujur kepadaku. Maka kamu
guratkan di atas lembaran-lembaran buku itu impian-impian dan komitmenmu. Kamu
membacanya berulang kali, lantas matamu berbinar olehnya, lalu kamu berucap
padaku dengan lantang, “akan kucapai semua ini!”
Coba
ingat sekarang, kapan terakhir kali sejak hari itu, kamu buka buku harianmu?
Selama
satu tahun tidak kulewatkan satu haripun melihat tingkah lakumu yang tanpa
dedikasi, dengan arogansimu yang setinggi langit. Setiap hari pula aku
menggeleng-gelengkan kepala, hampir copot kamu buat.
Duhai,
betapa congkaknya dirimu! Bahkan dengan kamu yang tidak ada sepersekiannya di
antara kawananmu, masih berani kamu berlaga. Entah kamu yang terlalu menutup
mata pada kenyataan, atau memang kamu yang terlalu bodoh untuk mengerti.
Tidak satu haripun kamu bercermin kepada dirimu
sendiri. Aku melihatmu bergumam setiap hari bahwa kamu adalah yang paling
hebat, bahwa segalanya akan berakhir seperti yang kamu mau. Maka kunanti setiap
hari saat-saat kamu kelak akan menghubungiku, berbicara kepadaku, memudarkan
sedikit egomu di hadapanku. Tapi kamu tidak, dan aku tetap menanti.
Tentu
kamu ingat ketika realita pada akhirnya menelanmu bulat-bulat tanpa belas
kasih. Pecah tangismu sejadi-jadinya, sakit dadamu bagai ada bolong di sana.
Lalu kamu menghubungiku, sekali, melakukan pengakuan dosa. Kita berbincang, dan
kamu melontarkan janji-janji kepadaku, memintaku untuk mengingatkanmu setiap
saat.
Tapi
bagaimana aku bisa mengingatkanmu ketika kamu terus membungkamku?
Setelah beberapa hari terlewati, kamu akhirnya
menemukan cara untuk menyembuhkan lukamu dan kembali menumbuhkan semangatmu.
Tapi kebahagiaanmu yang berlimpah itu membungkamku,
dan kamu lagi-lagi tidak mendengarku. Biar aku berseru, berteriak, menjerit;
kebahagiaanmu yang kamu temukan ini menyumbat telingamu. Maka kamu kembali ke
perangaimu yang busuk. Yang mengantarkanmu kepada bencana. Yang digelapmatakan
kamu olehnya, oleh kebahagiaan dan kepuasan fana.
Perlu
kamu tahu, sayang, aku menyayangimu.
Perlu
kamu tahu, sayang, aku di sini untukmu.
Maka
dengarkan aku—yang sudah tidak tahan melihatmu menderita di akhir- ini.
Sadarlah
bahwa untuk mencapai segala keindahan, kamu perlu pengorbanan. Pengorbanan
adalah usaha. Kamu tidak akan berusaha apabila persepsi di kepalamu mengatakan
kamu paling hebat—terlepas dari kenyataan apakah hal tersebut benar atau tidak.
Ada langit di atas langit, ingat bahwa kamu bahkan tidak pantas berdiri di atas
tanah atas kemampuanmu yang bukan apa-apa.
Aku
harap setelah ini kamu menghubungiku sesering mungkin, dan kita akan lebih
sering berbicara. Catat bahwa aku ingin kamu jujur padaku; walaupun tanpa kamu
harus bilang, aku sudah pasti tahu.
Yang selalu mengawasimu,
Nurani.
Aku adalah yang paling dekat denganmu. Menempati ragamu, mengawasimu. Kini aku angkat bicara tanpa kamu minta, maka dengarkanlah.
ABOUT THE AUTHOR
Thanks for reading this post. If you are interested to read more posts in this blog, feel free to click here and there to explore more. Have a good day, mate!
0 comments:
Post a Comment