Halo,
sayang. Tidak perlu susah-susah kutanyakan kabarmu, sebab tanpa kamu mengerti,
aku mengetahui jauh lebih banyak. Meski kamu berkali-kali menjauhiku,
membuangku, membungkamku, kamu takkan paham seberapa besar aku bisa bangkit
ketika aku mau.
Perlu
kamu ketahui bahwa di detik tepat kamu membaca tulisan ini, kamu masih membuat
banyak alasan untuk aku membencimu. Tindakanmu bodoh dan kamu tidak pernah belajar.
Maka tulisan ini aku dedikasikan untukmu, untuk mengusir segala kebodohan yang
bersarang di kepalamu.
Adalah
tepat satu tahun, hari ini, sejak kamu memupuk segala impianmu. Kamu bahkan
membeli sebuah buku harian untuk kamu bisa mencurahkan pikiranmu, sarana yang
kuketahui sebagai satu-satunya cara untuk kamu lebih jujur kepadaku. Maka kamu
guratkan di atas lembaran-lembaran buku itu impian-impian dan komitmenmu. Kamu
membacanya berulang kali, lantas matamu berbinar olehnya, lalu kamu berucap
padaku dengan lantang, “akan kucapai semua ini!”
Coba
ingat sekarang, kapan terakhir kali sejak hari itu, kamu buka buku harianmu?
Selama
satu tahun tidak kulewatkan satu haripun melihat tingkah lakumu yang tanpa
dedikasi, dengan arogansimu yang setinggi langit. Setiap hari pula aku
menggeleng-gelengkan kepala, hampir copot kamu buat.
Duhai,
betapa congkaknya dirimu! Bahkan dengan kamu yang tidak ada sepersekiannya di
antara kawananmu, masih berani kamu berlaga. Entah kamu yang terlalu menutup
mata pada kenyataan, atau memang kamu yang terlalu bodoh untuk mengerti.
Tidak satu haripun kamu bercermin kepada dirimu
sendiri. Aku melihatmu bergumam setiap hari bahwa kamu adalah yang paling
hebat, bahwa segalanya akan berakhir seperti yang kamu mau. Maka kunanti setiap
hari saat-saat kamu kelak akan menghubungiku, berbicara kepadaku, memudarkan
sedikit egomu di hadapanku. Tapi kamu tidak, dan aku tetap menanti.
Tentu
kamu ingat ketika realita pada akhirnya menelanmu bulat-bulat tanpa belas
kasih. Pecah tangismu sejadi-jadinya, sakit dadamu bagai ada bolong di sana.
Lalu kamu menghubungiku, sekali, melakukan pengakuan dosa. Kita berbincang, dan
kamu melontarkan janji-janji kepadaku, memintaku untuk mengingatkanmu setiap
saat.
Tapi
bagaimana aku bisa mengingatkanmu ketika kamu terus membungkamku?
Setelah beberapa hari terlewati, kamu akhirnya
menemukan cara untuk menyembuhkan lukamu dan kembali menumbuhkan semangatmu.
Tapi kebahagiaanmu yang berlimpah itu membungkamku,
dan kamu lagi-lagi tidak mendengarku. Biar aku berseru, berteriak, menjerit;
kebahagiaanmu yang kamu temukan ini menyumbat telingamu. Maka kamu kembali ke
perangaimu yang busuk. Yang mengantarkanmu kepada bencana. Yang digelapmatakan
kamu olehnya, oleh kebahagiaan dan kepuasan fana.
Perlu
kamu tahu, sayang, aku menyayangimu.
Perlu
kamu tahu, sayang, aku di sini untukmu.
Maka
dengarkan aku—yang sudah tidak tahan melihatmu menderita di akhir- ini.
Sadarlah
bahwa untuk mencapai segala keindahan, kamu perlu pengorbanan. Pengorbanan
adalah usaha. Kamu tidak akan berusaha apabila persepsi di kepalamu mengatakan
kamu paling hebat—terlepas dari kenyataan apakah hal tersebut benar atau tidak.
Ada langit di atas langit, ingat bahwa kamu bahkan tidak pantas berdiri di atas
tanah atas kemampuanmu yang bukan apa-apa.
Aku
harap setelah ini kamu menghubungiku sesering mungkin, dan kita akan lebih
sering berbicara. Catat bahwa aku ingin kamu jujur padaku; walaupun tanpa kamu
harus bilang, aku sudah pasti tahu.
Yang selalu mengawasimu,
Nurani.
Aku adalah yang paling dekat denganmu. Menempati ragamu, mengawasimu. Kini aku angkat bicara tanpa kamu minta, maka dengarkanlah.
Spending most of my time being
unproductive by staring at ask.fm timeline finally gives its privilege.
Some people I follow talked about this video, and
triggered by my curiosity, I clicked the link:
It is clear that
most girls all over the world are having quite hard time to deal with society
regarding to their appearance. We’re all living in the society where there is
standard to consider beauty (the existence itself cringe me, like, how dare we
human to make standards of ‘appropriate’ appearance when all of us are born
equally?), and there are certain consequences for not fulfilling it: get
bullied, insulted, and neglected.
Since I have never
paid much attention to make-ups, I didn’t see how it is able to bring such
difference to someone (for this case, girls). I thought the function is only to
make you a bit prettier by giving some more shades and colors to particular
parts of your face –apparently it is much more than that. It totally changes
your look! In higher levels of make-up, you are able to express yourself and
change your look to what you want people to see.
And there should be
nothing wrong about it.
Some people insult a
girl with make-up saying she’s fake, too much, liar.
But when she doesn’t
use any, people call her gross, disgusting, yucky, and foul, for showing her
pale skin and acne.
What the fuck is
wrong by trying to cover up flaws and boost our confidence for that?
Every person was
born with flaws. Some are capable to deal with it, some other are not and get
depressed with it. Every person has their own insecurities regarding to their
body, whether it is inborn or made by something inevitable (like allergic,
disease, or accident). Conquering insecurities is a big deal. Insecurities born
if one isn’t confident about his/her own self. Being that said, insecurities
comes from within, it is the lack of self value. With the circumstance of
society nowadays, it is quite hard for some people to feel okay about
themselves. Not all people are blessed enough to have physical appearance that
is fit to the standard of society of the ‘beauty’ or to –at least, get rid of
their flaws (take notes that curing chronic acne in beauty clinics IS NOT
cheap).
Speaking of
insecurities, I too, have my own story.
Perceived by my
surrounding as someone who is easy-going, loud, talkative, fierce, tough (or even
hostile, sometimes by certain people) indirectly constructs a supposition of my
character that is not actually true: confident. People somehow assume I am
pretty okay with how I look like in the eyes of society.
The thing is, I am not,
and being insecure about my own self is devastating and I have yet to find way
to get this feeling out of my mind.
Since I was a kid,
about ten years ago when I was started to understand what are people talking
about, it was (well, –has been) common in my big family to joke around and that
time, I happened to be one of the objects. I was (--have been) always compared
to my younger sister who was destined to born with prettier face than me.
Seeing all people laugh made me forced myself to laugh with them together and so
they assume ‘no one gets hurt’. In fact, I did. Did I cry? No, it was stupid to
cry because what would happen was so predictable: I would be insulted MORE.
What can I do to make them stop? Nothing. Even though I was smart, yes, the
entire of my big family acknowledged it and of course it gave me a lot favors.
Got some gifts, prices, cashes, and at least compliments –but there’s no way
out of the insult I got for not being as pretty as my sister.
Even an aunt once said, “The
only good thing about your face is you are fair skinned, the rest are so-so,
hahaha”(“Mukamu kan cuma menang
putih, sisanya biasa-biasa aja, hahaha”) And the words remain still in my
head, refusing to leave.
In front of my family, I act like I am the most
confident bitch alive: Saying I feel I am pretty, I feel I am gorgeous, when in
fact, it was me pretending to be strong. Up until now, no one knows how each of
the words they spit to insult me was lingering in my mind and how it feels like
knifes to my heart.
There wasn’t actually something really wrong with my
face, only my nose is not sharp. I was skinny, fair skinned, my skin was
smooth, no acne or pores, I have black shining hair, but my face can’t be
considered as beautiful –it’s just ordinary. Super ordinary. Not the kind of
girl whose presence will stun everybody around.
As the idea of “I am not beautiful” and all the
insecurities overwhelmed my mind, I started to refuse when someone compliment
me, saying I’m beautiful. My heart was like, dude, you kid me? I know how ugly
I look like, and you, stupid liar, should stop making up thing that doesn’t
exist.
However, thanks to my family that those experience
taught me to not being too sensitive (people nowadays are easily offended, aren't they?). After all, I gradually getting used to
their jokes and as the time goes, I learnt to close my ears and just laugh. Sure
it wasn’t an easy endeavor. [My family is the best, nevertheless. Beside joking about physical appearance, the rest are wicked and having a quality time with them without getting your stomach hurt for too much laugh is impossible. It just, the joke they made for me were started too early, when I was too much younger. I guess.]
Once I got to the fourth grade of elementary school,
my circle changed and I was close to famous girls in the school. I was one of
them, though, I shined because of my achievements and how I could easily socialize
with kids, not my face. I was overshadowed, and no boys really looked at me
(some did though, Alhamdulillah).
I didn’t like to be photographed as much as the
girls, because I was afraid I would be ashamed when my face in the picture
turned out to be ugly. (Except selfies because I know how my face would be in
the picture, but back then, phone with front camera was quite expensive and I
couldn’t afford it)
And then I got to junior high school where everything
got worse (nah, not really): ALL THE GIRLS WERE GODDESSES. Damn, I won’t get
highlight here, I thought, and it turned out to be true. (However, I did experience
some lovey-dovey story during junior high school; again, Alhamdulillah my face
is a little bit qualified to be loved). On my last year in 8th
grade, after a long vacation to Jogjakarta, the worst nightmare ever exist hit
me: I was getting fat. A LOT. A LOT…
My legs are big, I have wide
calves and ankles. To make it worse, I am short. Great.
And oh, of course by that I was
insulted by my family because my younger sister was tall as her height was the
same as mine.
Despite the fact that I am
getting a bit skinnier during my first year of high school, I still dislike my
body. I missed my skinny body. Again, to make it worse, two huge dark eye-bags
hanging under my eyes and it seem awful (but I’m currently learning to love it
because in some cases it looks sexy!) (nah, no. It was just me trying to love
myself.)
Throwing back at my photos when
I was younger, I wasn’t actually that
ugly. I hate myself for not believing how pretty I was back then! Seriously, me
when I was younger is quite beautiful, and if allowed, I really want that face
my entire life. Who cares if I wasn’t as beautiful as the other girls? If I realized
back then how I should be grateful on the appearance God has gifted, I would be
pretty confident.
Up until now, the insecurities
remain still in my mind in different form. My current body is the most thing I’m
not satisfied: wrinkles, dark spots, acne, cellulite, pores, hair loss, and
fat. See? My body is a whole pack of flaws. Not everyone knows I actually put
much attention to these (they think I am the kind of girl who’s not giving sufficient
attention to appearance and how people see myself)
People will judge anyway and that’s life. I learnt
that insecurities come from within, and I learnt that it could be a big deal to
make fun of one’s flaw. I admit that I am such a huge douchebag: I like to tease
who’s close to me regarding to their flaws. But realizing that even closest
people can hurt you like I experienced, I aware that start from now, I need to control
myself to don’t make fun of someone.
You, too.
Yes people are all
free to speak out our opinions loud, including those who offend girls with
make-up by saying they are fake and too much. Not to say the chance of us,
girls, to be insulted by our natural face is also as big as when we wear
make-up. They’ll say our bare face is ugly, gross, pale, zombie like, yadda
yadda yadda. Even though make-up is not only the issue, but it is the easiest
to draw the simpler circumstance on how we live in society where everything we
have done will be judged.
It is entirely not one’s fault
to not being flawless.
Please acknowledge that human
comes with flaws sticking on them. Please ponder that none of
human ever exist can choose the way they were born. Please aware that you can hurt people
with the blunt comments you give. Please understand that deep
inside, everyone desire to be liked.
image credit: favim.com
Sejak saya kecil, ada satu gagasan yang
terus menerus terngiang dalam kepala saya, bersemayam di sana selama
bertahun-tahun.
Awalnya saya merasa berdosa membiarkan otak
liar ini menciptakan gagasan macam itu. Tenggelam dalam perasaan bersalah, saya
diam, membiarkannya bersemayam disana, terkunci rapat dalam jeruji.
Tapi ia tetap berbicara. Tapi ia tak henti
bersuara. Bisikkannya maut. Pelan, menggerogoti.
Saya penjarakan dia, tapi lupa saya kunci
mulutnya.
Saya menolak mendengarkan. Saya mengelak.
Saya menghindar.
Saya berpura-pura menolak mendengarkan. Saya berpura-pura
mengelak. Saya berpura-pura menghindar.
Bertahun-tahun saya membiarkan ia terus membisikkan
gagasan itu pada saya, bertahun-tahun pula saya berbohong. Entah kepada siapa.
Entah kepada orang-orang. Entah kepadanya. Entah kepada saya sendiri.
Tapi tidak kali ini.
Aku bukan melepaskannya. Aku bukan
membebaskannya.
Tapi kini kita bersatu.
Ia adalah bagian dari diri saya, tanpa
segan saya ucapkan. Tanpa segan saya nyatakan. Tidak ada lagi pura-pura.
Yang ia bisikkan selama ini adalah:
Kamu
tidak perlu mensyukuri hidup.
“Bersyukurlah
karena kamu hidup, karena kamu ada di dunia ini.”
Persetan!
Apa
kamu ingat pernah minta ke Tuhan untuk ada disini?
Apa
kamu ingat pernah minta ke Mama untuk menampungmu dalam tempat gelap itu, yang sembilan
bulan kamu bersemayam di dalamnya?
Lalu
apa yang harus kamu syukuri?
Saya pegang teguh kata-katanya, kini.
Saya biarkan gagasan itu melebur, menyatu
dalam diri saya.
Saya buat ia hidup dalam saya.
Saya tidak bersyukur atas hidup yang
telah diberi pada saya. Saya tidak bersyukur atas nyawa yang ditiupkan pada
tubuh saya.
Yang saya syukuri, adalah apa yang ada di dalam hidup itu sendiri.
Yang saya syukuri, adalah kemampuan saya
menjalani semua yang terjadi.
Yang saya syukuri, adalah saya masih
dipercaya oleh-Nya untuk terus berjalan di umur ini, setidaknya sampai saat
ini.
Kujawab pertanyaannya.
Saya tidak mensyukuri hidup.Saya mensyukuri kehidupan.
Saat tulisan ini dibuat, Mama sedang
terkulai lemas di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB).
RSPB sudah berdiri sejak dulu, sejak
Mama kecil. Datuk (panggilan saya untuk kakek) dulu adalah salah seorang
karyawan di Pertamina. “Seumur-umur, bahkan dulu pas kesini bisa gratis karena
datuk orang Pertamina, baru sekarang Mama dirawat di rumah sakit selain waktu Mama
lahir; dan melahirkan kamu,” Kata Mama.
Mama kemudian bercerita kalau dulu, adik
Mama yang paling bungsu dulu sering sekali dirawat di rumah sakit ini. Entah
karena giginya patah, tulangnya retak, babak belur, dan sebagainya. Pokoknya,
paman saya ini badung sekali waktu kecil. Tante juga beberapa kali dirawat di
rumah sakit, karena ia juga sangat aktif dan sering main-main.
Kemudian terlintas di kepala saya,
hingga kemudian saya tanya Mama, beliau sewaktu kecil dulu bagaimana. Beliau
bilang, Mama yang sekarang dan yang dulu itu jauh berbeda, beda banget. “Beda kayak gimana, ma?”
Mama kemudian bercerita, dulu beliau anak yang amat
pemalu. Pintar dan cerdas. Hidup dalam keluarga berkecukupan. Butuh apa? Silahkan.
Mau makan apa? Ada. Mau kemana? Ayo. Tapi Mama yang dulu pemalu dan clueless soal hidup yang sebenarnya. “Keadaan
benar-benar merubah Mama, Mbak.”
Mama bilang Mama senang saja dengan perubahan pada
dirinya. Beliau sekarang lebih berani dan percaya diri. Maklum, keadaan ekonomi
keluarga kami yang sempat merosot memaksanya menerobos jeruji malu dalam
dirinya supaya bisa mengisi perut dan memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya. Tidak
hanya ekonomi sebenarnya, rasanya dari berbagai aspek keluarga kami berantakan,
hingga Mama dan Bapak cerai di tahun 2010 lalu. Perceraian adalah sebuah akhir
dari perjalanan dan perjuangannya selama pernikahan yang tidak begitu memberi Mama
kebahagiaan, namun perceraian itu juga awal dari perjalanan dan perjuangan
barunya sebagai single parent bagi
saya dan adik saya. Dan, kebahagiaan baru baginya.
“Cari-cari kerjaan dengan umur tua dan jelas tau ga akan diterima pernah, jualan kue
pernah, ngutang pernah –utang, yaampun Mbak, itu bagian hidup Mama dulu. Yang
begitu udah Mama lewatin. Gengsi Mama harus dilawan lah, kalo enggak kamu ya gak makan,”
“Transformasi
kehidupan lama dan baru Mama itu yang paling susah. Biasa hidup enak, kewajiban
cuma sekolah yang bener. Butuh apa-apa ada, dipenuhi, dicukupi. Sampai akhirnya
Mama masuk ke medan baru, keluarga baru, yang keadaannya jauh langit bumi.
Kagok, mbak. Kaget.” Aku ingat betul bagaimana raut wajah lelah Mama selama
bertahun-tahun. Sorot mata yang gelap, kosong, tanpa cahaya. Bagaimana ia menghabiskan
waktunya merenung. Menunggu yang tidak kunjung datang.
Melihat bagaimana semangatnya bangkit lagi empat tahun
belakangan, bagaimana sinar matanya kembali lagi, adalah keajaiban.
Saya tanya Mama bagaimana mungkin semangat yang sudah
benar-benar terpuruk itu muncul lagi.
“Karena ada kamu, adikmu, yang jadi semangat Mama.”
Mama amat menikmati hidupnya yang sekarang. Tanpa Bapak.
Dengan pekerjaan Mama sendiri. “Punya penghasilan sendiri, bebas mau Mama
apain. Ya, setelah memenuhi kewajiban Mama terhadap keluarga kita lah. Gaji Mama memang kecil, tapi itu
milik Mama, hasil keringat Mama, bukan dari siapa-siapa. Itu sudah cukup
memuaskan,”
Kemudian saya terus berbincang kepada Mama, lalu secara
inplisit menyelipkan pertanyaan yang menyiratkan: Apa Mama mau menikah lagi?
“Sendiri itu lebih enak, Mbak. Ngasih makan kamu dan adekmu masih bisa
pake telur diceplok, lah kalo Mama
punya suami nanti, yakalideh Mbak. Yeu, udahlah, kewajiban Mama yang mau Mama penuhi ya kalian aja,
gausah tambah-tambah lagi. Ribet.”
Lihat? Ia benar-benar bukan wanita melankolis yang sibuk menghabiskan waktunya untuk memikirkan
pendamping hidup. Padahal kalau beliau mau punya suami lagi, bisa saja. Beliau
terhitung awet muda dan cantik untuk umurnya yang sudah kepala empat. Ditambah
fakta bawa kami anak-anaknya sih, ora opo-opo Mama menikah lagi. Malah senang, uang jajan banyak.
“Ngapain bergantung sama orang. Apalagi buat ngasih makan perut sendiri,”
Tuturnya.
--ooOoo--
Ada seorang laki-laki yang dekat
dengan saya akhir-akhir ini. Sering datang ke rumah untuk ngapel. Setelah beberapa lama, Mama tanya pada saya. “Kamu kapan ganti cowok?” Saya
tertawa saja. Wong saya memang benar
suka sama laki-laki itu. Bagaimanadong?
Jadi saat sedang berbincang di kamar rumah sakit ini, saya tanya kepada Mama, emang kenapa toh Ma?
“Hanya laki-laki yang pantas yang bisa bikin
kamu jadi miliknya. Itu, kalau kamu menghargai diri kamu sendiri sebagai
perempuan. Makanya, selektif. Malah lebih bagus kalau kamu gak terlalu bergantung pada laki-laki”
“Jadilah perempuan yang disegani.
Yang mampu berdiri bagi dirinya sendiri. Yang baginya, keberadaan lelaki
disampingnya adalah karena ia mau, bukan karena ia butuh. Dan untuk mendukung
itu, kamu harus punya modal. Nih,” Sembari mengetukkan ujung telunjuknya ke
kepala. “Jadilah mahkota bagi dirimu sendiri,”
Ia juga pribadi yang tegas dan
berprinsip. Contohnya, seringkali saya dilarang untuk pergi bersama teman-teman
dalam waktu luang, perginya juga tidak lama dan tidak malam-malam. Kemudian
saya tanya mengapa Mama suka
larang saya, beliau jawab, “Gak semua yang kamu mau harus dituruti. Ini
aturan Mama. Kenyataannya, di hidup ini kamu gak bisa berbuat semaumu, apalagi kalau kamu berada di bawah aturan
orang lain.”
Soal prestasi, Mama galak banget. Saya
tanya Mama mengapa kok ngotot sekali sih soal belajar. “Sekarang semua ilmu dan pemikiran Mama, gunanya
cuma satu:untuk
diturunkan kepada kalian, anak-anak Mama.
Jangan jadi seperti Mama. Potensi setinggi langit tapi penghalang
juga setinggi langit. Buatlah kesempatan kalian sendiri. Buat
keadaan kalian lebih baik. Buat potensi yang tinggi, lalu buat potensi itu
bukan hanya untuk diwariskan, tapi juga berguna buat ngisi perut, buat
senang-senang,” Memang, Mama punya tingkat
intelektual yang tinggi, tapi tidak benar-benar terpakai setelah tahun kedua
pernikahannya. Bapak melarang Mama berkerja.
“Ingat
ini: Malu sama diri sendiri. Malu
sama keadaan. Malu sama dunia. Belajar yang
bener. Masa iya, udah miskin, bego
lagi,”
Agak
kasar, tapi ngena.
--ooOoo--
Mama adalah sosok utama pembentuk
karakter dalam diri saya. Darinya lah saya belajar banyak mengenai perkembangan
diri saya. Mengenai cita-cita saya. Mengenai target saya. Mengenai jati diri
saya.
Mama adalah sosok nyata wanita
independen di mata saya. Darinya lah saya belajar, bahwa saya harus menghargai
diri saya sendiri, baik sebagai manusia maupun sebagai kaum hawa. Darinya lah
saya belajar, bahwa saya bisa jauh lebih tangguh
daripada yang bisa saya bayangkan.
--ooOoo--
“Kok
tumben ya kamu minta cerita begini?” Tanya Mama. “Lagi
sakit malah disuruh cerita. Haduuu bayar
lho ya!” Aku sih, cengar-cengir saja.
Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com
Dear, Naomi. Lo
harus tahu kalau hari ini, tepat setelah teman-teman lo mempublikasikan
perayaan ulang tahun lo melalui berbagai media sosial, dan bagaimana lo sangat bahagia
dan bersyukur kepadanya –membuat gue, inevitably
jealous. Posesif gue mulai keluar.
Gue
koreksi, deh. “Lo harus lebih
baik tahu...”. Karena sebenarnya gue bahagia aja kalau lo juga bahagia. Tapi
gue cuma pengen lo tahu aja.
Adalah
sesal yang benar-benar merasuki dada gue seharian ini bahwa gue gabisa ada di sana,
merayakan ulang tahun lo, naburin tepung, telor, saus, air (segala jenis air
dari yang bening sampai yang terkontaminasi) dan segala hal hina dina lainnya;
secara membabi buta ke badan lo sambil ketawa-ketiwi, dengan kejailan gue yang lo tahu benar
seberapa parah. Bareng yang lainnya. Bareng sahabat-sahabat kita yang lainnya.
Gue
jadi miris dengan fakta bahwa kita semua memang sudah separated and tore apart, dan bahwa masing-masing dari kita bakalan
mensubtitusi posisi satu sama lain dalam hati dan pikiran kita –dengan orang
lain. Lo tau dong kebiasaan overthink gue, and
seriously dude, pikiran gue kemana-mana banget. Iya gue paham ini exaggerating banget, but who knows?
I know it’s not
appropriate to say these thoughts of mine
pada hari yang seharusnya jadi hari bahagia lo, and I’m really sorry for that. Tapi ini semua, dari hati gue yang
paling dalam, dan lo tahu benar kalau cuma sama lo-lah gue gak bisa gak
ngeluarin seluruh isi kepala dan hati gue. So
please, forgive me karena tulisan-tulisan receh ini.
Happy
Birthday dear, all great wishes from my deep heart for you. I
wish I could be there, beneran deh.
Aku merasakan kenangan emosional ketika membaca ulang tulisan-tulisanku. Sensasi rasa yang membuatku secara nyata merasakan emosi yang sama dengan emosi saat tulisan tersebut dibuat.
Dan akan aku pastikan, sensasi serupa dalam keadaan yang berbeda akan kurasakan lagi beberapa tahun kedepan.
Aku harus lebih banyak menulis.
Aku mau lebih banyak menulis.
Aku akan lebih banyak menulis.
20 Januari 2015.
Hai, tahun sudah berganti.
Tulisan terakhirku adalah 10 hari setelah ulang tahunku --yang berarti 246 hari yang lalu.
246 hari yang mengagumkan, kurasa.
Adalah 246 hari pertama dalam hidupku, aku merasakan sebuah metamorfosa kehidupanku, transformasi antara kehidupan lama dan kehidupan baruku. Perubahan yang vertikal, tidak membaik pun tidak memburuk.
246 hari tersebut adalah hari kelulusan, hari pengakuan perasaanku kepada seorang teman laki-laki, hari terakhir bersama geng, hari kepindahan, hari-hari persiapan masuk sekolah, hari-hari pra-MOS, hari-hari puasa, hari Idul Fitri, hari pertama masuk sekolah, hari-hari mencari teman, hari-hari merasakan kesepian dan kesendirian, hari-hari tertekan, hari-hari aku mulai berusaha berteman dengan kesepian, hari-hari aku mulai menyadari perasaanku kepada seseorang, hari-hari aku menyesuaikan hidup baruku, hari-hari aku merindukan sahabat-sahabatku di kota asal, hari-hari aku benar-benar menyayangi seorang laki-laki, hari-hari aku berusaha lebih jujur kepada diri sendiri, hari-hari aku menulis dan berdialog ria dengan sosok manifestasi bayanganku akan seorang teman, hari aku merasa dicintai, hari-hari aku menghabiskan waktu lagi bersama sahabat lama, hari-hari aku sadar bahwa kepergianku benar-benar meninggalkan harta tak tergantikan dalam hidupku, hari-hari aku meratapi nasib dan takdirku, hari-hari aku mempertanyakan jalan hidupku selanjutnya, hari-hari aku mempertanyakan apa dan siapa lagi yang akan kutinggalkan dan meninggalkanku, hari-hari aku merasa yakin dicintai, hari-hari aku merasa ragu dicintai, hari pergantian tahun, hari aku menghabiskan awal dan akhir tahun dengan seorang laki-laki yang kusayang dan kuanggap menyayangiku, hari-hari aku merasa yakin dicintai, hari-hari aku merasa ragu dicintai, hari-hari aku yakin bahwa aku tidak seharusnya ambil pusing dengan semuanya; karena aku harus mencapai impian yang lebih tinggi, hari-hari aku mulai jauh, jauh, jauh, bersahabat dengan diri sendiri dan jujur dengannya.
Adalah 246 hari ini, hari dimana aku belajar bahwa aku harus mencintai diriku sendiri dan bersahabat dengannya lebih dalam untuk memiliki hidup yang bernilai.
Adalah 246 hari ini, hari dimana aku sadar bahwa seburuk apapun keadaan, hanya diriku yang tidak akan pernah mengkhianati diriku. Ialah sahabat, pasangan, pendamping terbaik dalam hidupku.
Adalah 246 hari dimana aku mengerti, akulah yang aku butuhkan. Adalah aku yang kuat yang aku butuhkan.